Bertempat di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, pada 11 Juni 2025, lebih dari seratus peserta berkumpul dalam sebuah diskusi film bertajuk “Gowok: Feminitas atau Maskulinitas?”. Acara yang digagas oleh Klub Baca Membaca Raden Saleh ini mengupas film kontroversial Gowok: Kamasutra van Java karya Hanung Bramantyo, sekaligus menggali ulang relasi antara tubuh, hasrat, dan kuasa dalam lanskap budaya lokal.
Film berlatar Banyumas tahun 1955–1965 ini mengangkat praktik gowok, sebuah tradisi yang mengajarkan pemuda seni merayu dan memuaskan perempuan dewasa. Narasi ini memicu pertanyaan: Apakah gowok merupakan bentuk pendidikan seksual progresif, atau reproduksi patriarki dalam balutan budaya?
Antara Tradisi dan Bayang Perlawanan
Hanung Bramantyo mengawal kisah pergulatannya saat meramu film ini, antara keinginan untuk mengabadikan jejak budaya yang hampir lenyap, dan kesadaran akan tanggung jawab moral saat menyentuh isu seksualitas di ruang publik. Baginya, membawa topik serentan ini ke layar lebar bukan sekadar keputusan estetis, melainkan juga langkah penuh pertimbangan naratif dan historis.
“Pemilihan latar tahun 1955–1965 untuk menangkap tensi antara tradisi dan ideologi, terutama ketika kekuasaan budaya mulai berbenturan dengan gejolak politik,” ujar Hanung. Ia juga menegaskan soal kehadiran Gerwani dalam film tidak dimaksudkan sebagai provokasi ideologis, melainkan sebagai unsur sejarah yang memperdalam narasi.

Diskusi hangat ini dipandu oleh Stebby Julionatan dan menghadirkan Magdalena Sitorus seorang purnabakti Komnas Perempuan, keduanya merupakan anggota Alinea.
Stebby melontarkan pertanyaan kritis soal posisi perempuan dalam tradisi gowok: apakah benar mereka berdaulat atas tubuhnya, atau sekadar menjadi sarana pembentukan maskulinitas? Ia juga menggugat narasi “memuaskan istri” dalam film: apakah itu bentuk empati, atau redefinisi peran laki-laki dalam kerangka patriarki?
Menanggapi pertanyaan itu, Magdalena menyatakan bahwa ia tidak dalam posisi menilai film, namun mengapresiasi keberanian Hanung mengangkat isu sensitif ini melalui bahasa sinema yang memicu dialog publik. Perempuan yang kerap menulis tentang perempuan penyintas 1965 ini menekankan, setiap pembicaraan tentang kekerasan terhadap perempuan tak bisa dilepaskan dari banyaknya praktik budaya yang menyimpan ketimpangan kuasa atas tubuh perempuan.
“Kita bisa melihat praktik-praktik seperti kawin ipon, kawin tangkap, maupun adat lain yang dilanggengkan atas nama budaya, padahal mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan,” jelas Magdalena. “Dan di atas semua itu, angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi.”
Magdalena juga menyoroti pentingnya mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari praktik-praktik semacam itu. “Apakah perempuan benar-benar memiliki otonomi atas tubuh dan pilihan seksualnya? Atau justru semua ini hanya bentuk legitimasi budaya atas relasi kuasa yang timpang?” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah audiens mempertanyakan kembali keputusan sinematik Hanung dalam memilih era 1960-an sebagai latar. “Apakah ini semata pilihan estetika, atau ada muatan ideologis, misalnya terkait representasi Gerwani?” ungkap salah satunya.
Menanggapi hal tersebut, Hanung menegaskan bahwa era tersebut dipilih untuk membuka ruang naratif yang memadai dalam menggambarkan pertentangan nilai, antara tradisi dan gelombang perubahan politik, sekaligus menguji batas moral masyarakat Jawa saat itu.
“Di mana saya bisa tempatkan adegan seseorang menggorok orang lain, seperti Ratri membunuh Bagas, tapi kok tidak masuk penjara? Hanya pada masa republik yang chaos itu bisa terjadi,” tegasnya.
Lebih dari Sekadar Tradisi Seksual

Diskusi ini menembus batas antara dokumentasi budaya dan tafsir gender kritis. Tidak sekadar membedah praktik gowok, tetapi juga membuka ruang permenungan untuk kembali menelaah siapa yang sesungguhnya diuntungkan dalam konstruksi relasi seksual masyarakat.
Dengan menghadirkan perspektif lintas disiplin; dari sinema, antropologi, hingga aktivis gender, acara ini menghadirkan ruang dialektika bagaimana budaya lokal bisa menjadi refleksi sekaligus arena perebutan kuasa atas tubuh, hasrat, dan identitas.
Suasana hangat namun intens dalam diskusi ini turut terekam dalam video dokumentasi yang dibagikan oleh sastrawan Kurnia Effendi melalui media sosial. Sebagai anggota Alinea, Kurnia turut meluaskan jejak intelektual kolektif dari dialog penting ini ke ranah publik.
Penulis: Tim Alinea
Foto: Dokumentasi Klub Baca Membaca Raden Saleh
Leave a Reply