,

Titik Temu Kelima: Membaca Kenangan Tokyo bersama Danny I. Yatim

min read

Titik Temu Kelima – ALINEA di MT HUb Cawang (Minggu, 12 Oktober 2025)

Sebuah sudut kafe di MT Hub, Cawang, dipenuhi kehangatan aroma kopi dan obrolan ringan pada Minggu, 12 Oktober 2025. Di tempat itu, para anggota dan sahabat Alinea berkumpul dalam Titik Temu edisi kelima, sebuah forum bincang buku rutin yang menjadi ruang berbagi antara penulis dan pembaca.

Dalam edisi kali ini, diskusi ditengarai oleh buku Utsukushii Desu Ne, karya Danny I. Yatim. Hadir dalam perbincangan tersebut anggota Alinea Magdalena Sitorus, Debra Yatim, Stebby Julionatan, Pratiwi Juliani, dan Deasy Tirayoh, serta sejumlah kawan Alinea seperti Nina Masjhur, Ria, Takarina Subagyo, Wita Nimpuno, dan John Webe.

Buku Utsukushii Desu Ne merupakan memoar reflektif yang merekam pengalaman Danny sebagai mahasiswa pertukaran di Jochi Daigaku, Tokyo, pada musim panas 1981. Namun lebih dari sekadar catatan perjalanan, buku ini menjadi jendela tentang bagaimana seorang anak muda dari negara berkembang menafsirkan modernitas dan tradisi Jepang empat dekade silam.

Pemulung Kenangan dalam Memoar

Dalam sesi awal, sang penulis membuka dengan menyebut dirinya sebagai seorang pemulung kenangan. Danny lantas bercerita bahwa proses menulis Utsukushii Desu Ne berawal dari kebiasaannya mengumpulkan potongan hidup: tiket kereta, brosur, catatan harian, hingga karcis bioskop yang disimpannya selama puluhan tahun.

“Saya sering diejek karena menimbun barang-barang tak penting,” kenang Danny sambil tersenyum. “Tapi bagi saya, potongan kecil itulah yang menyimpan kebenaran pengalaman.”

Bagi Danny, arsip pribadi tidak sekadar bukti masa lalu, tapi bahan narasi yang menjaga akurasi dalam menulis memoar. Ia juga mengutip pandangan penulis perjalanan Agustinus Wibowo bahwa perbedaan antara fiksi dan nonfiksi terletak pada fakta yang harus bisa dipertanggungjawabkan, meski disampaikan dengan gaya penceritaan yang memikat.

Prinsip itulah yang menjadi fondasi Utsukushii Desu Ne yang jika diartikan “bagus ya”. Buku yang terdiri dari 84 cerita anekdotal tersebut memuat beragam kisah lucu, mengharukan, hingga reflektif tentang kehidupan di Jepang awal 1980-an.

Tokyo dan Kejujuran

Salah satu kisah yang mencuri perhatian peserta adalah ketika dompetnya yang hilang ditemukan kembali dalam keadaan utuh dan dikembalikan melalui pos polisi kecil, atau kōban.

“Itu bukan sekadar tentang keamanan,” ujar Danny, “tetapi tentang kepercayaan sosial yang berjalan tanpa perlu diumumkan.”

Stebby Julionatan, yang memoderasi acara, menyebut kekuatan buku ini terletak pada kemampuannya menghidupkan detail tanpa terjebak dalam kesan berlebihan. “Danny menulis dengan kejujuran yang jarang ditemukan dalam memoar. Ia tidak membesarkan dirinya, justru memperlihatkan bagaimana hal-hal kecil membentuk makna besar,” katanya.

Puisi yang Menemukan Penulisnya

Salah satu bagian yang memukau peserta adalah ketika Danny bercerita tentang puisinya yang kembali “menemukannya”. Suatu hari di tahun 1981, ia membaca sebuah waka, puisi kuno Jepang muasal tanka dan haiku, di taman dekat Istana Kaisar.

Beberapa waktu kemudian, saat berkunjung ke kuil dan bermain dengan papan ramalan tradisional (omikuji), tulisan yang muncul adalah baris puisi yang sama. “Apakah kebetulan? Saya tidak tahu,” katanya. “Tapi saya percaya, kata-kata bisa hidup dan kembali menemukan penulis dan pembacanya.”

Bagi peserta yang hadir, cerita itu menjadi sebuah refleksi tentang hubungan antara bahasa, ruang, dan waktu, bahwa momen puitik bukan hanya tentang sesuatu yang tersimpan, tetapi juga tentang mendengarkan bagaimana kata-kata memanggil kita kembali.

“Tidak ada yang kebetulan, Danny.” Kalimat tersebut meluncur sebagai sebuah tanggapan dari Wita Nimpuno.

Cerita lain yang mengundang tawa adalah ketika seorang warga Jepang keliru mengira Danny sebagai anggota grup musik Swara Mahardika, yang kala itu populer di Asia. “Saya dipanggil ‘Swara’ sepanjang minggu,” kenangnya. Peristiwa kecil itu membuka obrolan tentang representasi budaya dan cara orang asing memandang identitas Indonesia di luar negeri.

Menjelang akhir diskusi, suasana kian hangat. Beberapa peserta mengaku baru mengenal buku ini melalui acara tersebut, namun langsung tertarik memiliki dan membacanya.
Menurut Pratiwi Juliani, gaya tutur Danny membuat pembaca seolah sedang berjalan bersamanya di jalanan Tokyo. Sementara Wita Nimpuno menilai buku ini bisa menjadi panduan budaya yang menyenangkan karena faktanya kuat, namun disampaikan melalui kisah yang mengalir alami.

Danny menutup pertemuan dengan satu kalimat yang menempel lama di ingatan:

“Keindahan bukan hanya tentang apa yang kita lihat, tetapi tentang bagaimana pengalaman dan kata-kata saling menemukan kembali.”

Titik Temu Alinea kali ini kembali menghadirkan semangat dari penulis independen, yakni dapat merawat kebersamaan, membuka ruang dialektika.

Buku yang diterbitkan oleh Diomedia ini dapat dipesan langsung melalui penerbit @penerbitdiomedia, atau dengan menghubungi penulis melalui akun Instagram @diy_28_diy. **

**Tim Publikasi ALINEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *