, ,

Selaras di UWRF 2025, Dee Lestari: Menari Bersama Duka

min read

Dee Lestari saat peluncuran buku Selaras di Jingga Restaurant, Ubud Writers & Readers Festival 2025.

Ubud, 1 November 2025. Barangkali beginilah rupa sore memaknai keselarasan: udara berembus pelan ke sebuah meja yang memajang buku bersampul putih. Sampul itu menampilkan dua bulatan hijau sage yang tersusun vertikal seperti lambang infinity. Dua poros yang saling mencari dan bertemu di balik batas kehidupan.

Bertempat di Jingga Restaurant, dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025, penulis Dee Lestari memperkenalkan karya terbarunya, Selaras: Hidup Berkesadaran Menuju Harmoni Diri. Buku ke-19 dalam perjalanan kepenulisannya tersebut dibuka dengan percakapan tentang kehilangan yang telah dijinakkan dan menemukan bentuk barunya.

“Buku ini cara saya berbicara lagi dengan Reza,” ujar Dee, menyebut nama mendiang suaminya, Reza Gunawan, praktisi kesehatan holistik yang berpulang pada 2022 lalu.

Menurut Dee, yang juga bagian dari komunitas penulis Alinea, Selaras tidak dimaksudkannya sebagai panduan mindfulness dalam arti harfiah. Buku ini sejatinya dibidani oleh kumpulan catatan dan renungan Reza yang kemudian Dee rangkai menjadi ruang penyembuhan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi siapa saja yang sedang belajar berdamai dengan kehilangan.

“Menulis Selaras membuat saya belajar bahwa duka tidak berlawanan dengan kehidupan,” tuturnya. “Duka justru bagian dari perjalanan pulang ke diri sendiri.”

Peluncuran buku ini dimoderatori oleh Windy Ariestanty, penulis dan editor yang juga dikenal sebagai rekan sesama anggota Alinea. Percakapan di antara keduanya mengalir hangat, reflektif, dan sarat inspirasi. Keduanya berbagi pandangan yang sama bahwa menulis bukan sekadar mencatat, tapi juga jembatan untuk menata hidup agar tetap waras di tengah gelombang kehilangan.

Sejalan dengan hal itu, peluncuran Selaras sendiri bertepatan dengan tema besar festival tahun ini, Aham Brahmasmi — I Am the Universe, yang menekankan keterhubungan manusia dengan semesta. Dalam konteks tersebut, Selaras seolah menjelma menjadi representasi dari dialog antara kehidupan dan kematian, antara kehilangan dan penerimaan, antara manusia dan seluruh semesta yang menampungnya.

Diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Selaras merangkai refleksi pribadi, panduan praktis, serta kisah hangat tentang bagaimana manusia bisa merangkul ketenangan dan menenangkan kegelisahan. Dee, melalui bukunya, mengajak pembaca berhenti sejenak, bernapas, dan menerima hidup termasuk kehilangan.

“Bagi saya, Reza tidak pernah benar-benar pergi,” ujar Dee. “Dia hidup dalam tulisan ini, dan dalam kesadaran kita semua yang terus belajar untuk selaras.”

Para pengunjung tampak larut dalam suasana. Beberapa tampak khusyuk saat Dee berbagi kisah di balik proses kreatif bukunya.

“Ketika membaca halaman-halaman awalnya, saya merasa seperti mendengar suara Reza lagi,” ujar seorang peserta. “Saya kagum pada cara Dee mengelola duka menjadi sesuatu yang memulihkan dirinya, juga buat kita pembacanya.”

Menanggapi hal itu, penulis seri novel fiksi ilmiah Supernova itu mengutarakan,

“Selaras bukan berarti tanpa guncangan, melainkan bagaimana kita bisa menari bersama perubahan.”

Acara kemudian ditutup dengan penandatanganan buku dan sesi foto bersama.***

***Tim Publikasi ALINEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *