, ,

Alelopati Menggedor Pintu UWRF 2025

min read

Stebby Julionatan dalam peluncuran buku Alelopati (UWRF2025)

Alelopati, judul itu diambil dari istilah biologi yang menjelaskan hubungan antartanaman yang kadang saling menguatkan, kadang saling melemahkan. Tapi, di tangan Stebby Julionatan, istilah itu berubah menjadi permenungannya tentang luka manusia yang bisa menumbuhkan cinta, dan cinta yang kadang menorehkan luka baru.

Alelopati pula yang membawanya pada Sabtu, 1 November 2025, ke kafe Di Sini Di Sana di kawasan Kadewatan, Ubud. Penyair asal Probolinggo sekaligus anggota Alinea itu memperkenalkan karyanya sebagai bagian dari rangkaian Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025.

Acara yang dimulai pukul 16.00 WITA dibuka oleh Wulan Dewi Saraswati, penulis lakon sekaligus moderator. Ia membacakan puisi Akar yang Tak Kuat, membuka ruang bagi semangat pembangkangan yang menjadi nadi karya Stebby sebagai gugatan halus terhadap anggapan bahwa berpindah gereja berarti berpindah Tuhan.

“Memangnya kenapa kalau menjadi akar yang tak kuat? Kalau tidak cocok dengan pendetanya, bukan berarti tidak cocok dengan Tuhannya,” ujar Stebby, sebuah kalimat yang kemudian menjadi semacam kredo.

Setelah pembukaan, giliran William Kevin Okta. Ia memaparkan ilustrasi-ilustrasi dalam Alelopati, visual yang lahir dari dialog panjang antara puisi dan tubuh. Kevin, yang telah mengenal karya-karya Stebby sejak masa SMA, menjelaskan bagaimana ia menerjemahkan puisi-puisi bernuansa religius sekaligus penuh perlawanan itu ke dalam citra tubuh manusia dan tanaman yang terpotong oleh mesin-mesin produksi.

“Karya Stebby bergerak antara luka dan iman,” tukas Kevin. “Membaca Alelopati seperti menatap diri sendiri yang sedang belajar pulih.”

Suasana kemudian bergeser menjadi lebih personal ketika Fatimah Zarah, penulis muda berdarah Bali, mengajukan pertanyaan yang menyentuh: tanaman apa yang paling mewakili dirinya, dan luka apa yang paling dalam pernah ia alami.

Menyambut pertanyaan itu, Stebby mulai membuka kisah yang jarang ia bagi tentang pelecehan seksual yang dialaminya semasa SMA, tentang delapan tahun perjalanan berdamai dengan diri sendiri, dan tentang Natal yang dulu terasa seperti hukuman.

“Bagi orang lain, Natal adalah peristiwa yang indah,” ujarnya lirih. “Tapi bagi saya saat itu, Natal berarti harus pulang ke rumah Oma dan bertemu dengan orang yang pernah melecehkan saya.”

Lulusan S2 Kajian Gender Universitas Indonesia ini kemudian menyebut kantung semar sebagai simbol dirinya: “Ia adalah karnivora, parasit, tapi juga bentuk perlawanan tumbuhan terhadap organisme di atasnya. Hidup dengan caranya sendiri, seperti manusia yang menolak mati meski dikerat oleh ingatan.”

Sesi berlanjut dengan pembacaan puisi oleh Sisie Hayati, Mencatat Ingatan Tembakau, yang menyinggung tubuh perempuan pekerja migran sebagai angka ekonomi. Stebby menutup acara dengan Meja Makan, puisi tentang keluarga, tubuh, dan kuasa yang samar di antara doa.

Sebagai penanda peluncuran resmi, Grace Rosy Situngkir dari Elex Media Komputindo menyerahkan plakat bergambar sampul Alelopati. Buku setebal 160 halaman ini terbit pada Agustus 2025 dan menandai fase baru dalam perjalanan kepenyairan Stebby.

Lebih lanjut, Stebby berbicara tentang gagasan di balik judul Alelopati, menurutnya dalam biologi kata tersebut merujuk pada interaksi kimia antara tanaman dalam hubungan yang bisa saling menumbuhkan, tapi juga bisa saling melemahkan.

“Tanaman tidak selalu hidup dalam harmoni,” ungkapnya, “Ada yang melepaskan zat untuk menumbuhkan tanaman lain, ada pula yang justru membuatnya layu. Tapi keduanya tetap bagian dari siklus kehidupan.”

Bagi Stebby, konsep itu lebih dari sekadar metafora ilmiah. Ia menggunakannya untuk membaca ulang relasi antar manusia, terutama dalam konteks luka dan kasih. Ia percaya bahwa kehidupan manusia pun berlangsung dalam pola tersebut, yang justru membentuk kemanusiaan itu sendiri.

“Saya menulis dengan keyakinan kalau kita tumbuh lewat luka-luka yang ditinggalkan orang lain,” ujar Stebby meyakinkan. “Kadang dari cinta yang patah, kadang dari kehilangan yang tak pernah sembuh. Tapi justru dari situlah, puisi menemukan akar hidupnya,” pungkasnya menutup acara.

Dan mungkin di situlah daya hidup puisi-puisi Stebby Julionatan bermula, bahwa ia menulis bukan untuk sembuh sempurna, tapi untuk tetap hidup. Dalam dunia yang gemar menutup-nutupi luka, Alelopati hadir seperti akar liar yang menembus beton, pelan, keras kepala, tapi pasti menemukan cahaya.***

***Tim Publikasi ALINEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *